BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban,
diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa
qurbaanan (mashdar). Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang
digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan
maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan
istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata
ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan
untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash
Shan’ani, Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing)
yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub
(pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari,
1994).
B. Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberi gambaran
tentang qurban secara umum, terutama berkaitan dengan hal-hal yang umum
dilakukan dalam melakukan qurban.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qurban
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban,
diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa
qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut
istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis
et.al, 1972).
Dalam
bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau
adh-dhahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata
dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan
penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani,
Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah
adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya
Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah
(Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).
B. Hukum Qurban
Qurban
hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin
Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, “Qurban itu hukumnya
sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di
kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam
mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian
mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut
Imam Malik— mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah)
(Matdawam, 1984).
Ukuran
“mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu
mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok ( al
hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna
(al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas
dari menjalankan sunnah qurban (Al Jabari, 1994)
Dasar kesunnahan qurban antara lain,
firman Allah SWT :
“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. ” (TQS Al
Kautsar : 2)
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu
bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.”
(HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk)
bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan
berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan
qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa
sunnatun lakum ” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu
bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni ” kutiba ‘alayya an nahru
wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak
wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak
bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan).
Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas
Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al.,
Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi
tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka
janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini
shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna
musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah
suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang –yang tak berqurban
padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan
celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’ ) seperti halnya predikat fahisyah
(keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan
jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat
Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan
tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir
Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi
wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai
hadits Nabi SAW :
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah,
maka hendaklah ia melaksanakannya. ” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
XIII/157).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing,
misalnya) berkata,”Ini milik Allah, ” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid
Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
C. Keutamaan atau Ketentuan Qurban
Berqurban merupakan amal yang paling
dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :
“Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai
Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
Berdasarkan
hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah
berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat
anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya
sama.” (Al Jabari, 1994).
Tetesan darah hewan qurban akan
memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :
“Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes
darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan.. .” (lihat
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)
a) Waktu dan Tempat Qurban
a.Waktu
Qurban
dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari
Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila
disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah)
maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa
menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka
sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai
dengan sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)
Sabda Nabi SAW :
أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ
وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ تَعَالَ
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.”
Adapun hadits Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata:
كَانَ الْمُسْلِمُوْنَ يَشْرِي أَحَدُهُمُ
اْلأُضْحِيَّةَ فَيُسَمِّنُهَا فَيَذْبَحُهَا بَعْدَ اْلأضْحَى آخِرَ ذِي الْحِجَّةِ
“Dahulu kaum muslimin, salah seorang mereka membeli hewan kurban lalu dia
gemukkan kemudian dia sembelih setelah Iedul Adha di akhir bulan Dzulhijjah.”
(HR. Al-Baihaqi, 9/298) Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengingkari hadits ini dan
berkata: “Hadits ini aneh.” Demikian yang dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam
Syarhul Kabir (5/193). Wallahu a’lam.
Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam
hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam
hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam
Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).
Perlu
dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang
dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat
Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991).
Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia
saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah
waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka
keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
b.Tempat
Diutamakan, tempat penyembelihan
qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya
lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari).
Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di
rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di
manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).
b) Hewan Qurban
a. Jenis Hewan
Hewan
yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba).
Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh
dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman :
“…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am)
yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)
Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang
ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari,
1994).
Prof.
Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban
dengan kerbau ( jamus), sebab disamakan dengan sapi.
Jadi maksudnya, binatang kurban itu dapat dikatakan cukup
umur apabila telah mmencapai umur yang ditentukan syarak.
1) Domba sekurang-kurangnya berumur
satu tahun atau telah berganti gigi (musinnah).
2) Kambing biasa sekurang-kurangnya
berumur dua tahun.
3) Sapi atau kerbau
sekurang-kurangnya berumur dua tahun.
4) Unta sekurang-kurangnya berumur
lima tahun.
Cacat Binatang kurban
Cacat
binatang yang menyebabkan tidak sah dipergunakan untuk berkurban ada empat
macam, yaitu sakit mata (buta), sakit-sakitan (tidak sehat), pincang kakinya,
terlalu kurus, dan tua sekali sehingga seakan tak bersumsum.
Ketentuan Qurban Kambing
Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh
pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau
bahkan yang sudah meninggal dunia.
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada seseorang (suami)
menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang
benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam
keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”
Ketentuan Qurban Sapi dan Unta
Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang.
Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang). Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً
وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
”Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang
untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak
tujuh orang.”
b. Jenis Kelamin
Dalam
berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan,
sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban
dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin
(Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)
c. Umur
Sesuai
hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba
berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun
masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud
Yunus, 1936).
d. Kondisi
Hewan
yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau
cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah.
Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan
(Rifa’i et.al , 1978)
Berdasarkan
hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :
1. yang nyata-nyata buta sebelah,
2. yang nyata-nyata menderita
penyakit (dalam keadaan sakit),
3. yang nyata-nyata pincang
jalannya,
4. yang nyata-nyata lemah kakinya
serta kurus,
5. yang tidak ada sebagian
tanduknya,
6. yang tidak ada sebagian
kupingnya,
7. yang terpotong hidungnya,
8. yang pendek ekornya (karena
terpotong/putus) ,
9. yang rabun matanya. (Abdurrahman,
1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).
Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab
Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan
telah dikebiri ( al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
“Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)
c) Teknis Penyembelihan
Teknis penyembelihan adalah sebagai
berikut :
1. Hewan yang akan dikurbankan
dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke
arah kiblat, diiringi dengan membaca doa ” Robbanaa taqabbal minnaa innaka
antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami
ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)
2. Penyembelih meletakkan kakinya
yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan
kepalanya atau meronta.
3. Penyembelih melakukan
penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan
nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi
SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu
akbar!”)
4. Kemudian penyembelih membaca doa
kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka.
Allahumma taqabbal min ….” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya
Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah
dari….) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)
Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban
itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada
orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam,
1984; Al Jabari, 1994).
Dalam penyembelihan, wajib terdapat
4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :
1. Adz Dzaabih (penyembelih) , yaitu
setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun).
Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab
Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak
sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al
Jabari, 1994).
2. Adz Dzabiih, yaitu hewan yang
disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
3. Al Aalah, yaitu setiap alat yang
dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi,
tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang
hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya
itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari`
(saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
d) Pemanfaatan Daging Qurban
Sesudah
hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan)
baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti
hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (Al Jabari, 1994).
Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya
sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan
pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan
yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan
empuk.
Setelah
penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban
tersebut ? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan
daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan
kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda :
“Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan
simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)
Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban
dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah kepada fakir
miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah
(lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq,
1987).
Orang
yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di
atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan
semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula
untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman
karib (Al Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).
Akan
tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada
fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad
Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984)
Pembagian
daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar
desa/tempat dari tempat penyembelihan (Al Jabari, 1994).
Bolehkah
memberikan daging qurban kepada non-muslim ? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan
yang lainnya (Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah)
mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan
kepada muslim (Al Jabari, 1994).
Penyembelih
(jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah
berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman, 1990).
Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA :
“…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada
penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban).” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al
Jabari, 1994)
Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia
berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal,
melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir (Al Jabari, 19984).
Menjual
kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW :
“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging
qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya,
dan jangan kamu menjualnya.. .” (HR. Ahmad) (Matdawam, 1984).
Sebagian
ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza’i
membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati ( ihtiyath),
adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad
bin Hambal sampai berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan
qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?” (Al Jabari, 1994).
Kulit
hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika
kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab –menurut
pemahaman kami– larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang
berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah
kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan
untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid,
kaligrafi Islami, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut istilah, qurban
adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik
berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy
Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya
berkata, “Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib,
baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan
(musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Binatang kurban itu dapat dikatakan cukup umur apabila
telah mmencapai umur yang ditentukan syarak.
1) Domba sekurang-kurangnya berumur
satu tahun atau telah berganti gigi (musinnah).
2) Kambing biasa sekurang-kurangnya
berumur dua tahun.
3) Sapi atau kerbau
sekurang-kurangnya berumur dua tahun.
4) Unta sekurang-kurangnya berumur
lima tahun.
Cara Menyembelih Binatang
a. Menyiapkan terlebih dahulu lubang
penampungan darah
b. Menyiapkan peralatan yang akan
digunakan terlebidahulu.
c. Binatang yang akan di sembelih
dibaringkan menghadap kiblat, lambung kiri di bawah.
d. Leher yang akan di sembelih di
letakkan di atas lubang penampungan darah yang sudah di siapkan.
e. Kaki hewan yang akan di sembelih
dipegang kuat atau di ikat.
f. Mengucapkan basmalah
Saya ingin menutup
risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting :
Hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban karena
Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari
ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar
dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli
rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa
kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman :
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya. ” (TQS Al Hajj : 37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar